Tiga Kewajiban Seorang Muslim Terhadap Al-Qur’an
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta seluruh keluarga dan para sahabatnya, Amma ba’du.
Sungguh, seorang Muslim tentu menyadari bahwa al-Qur’an merupakan
firman yang diturunkan oleh Allah. Seorang Muslim juga menyadari bahwa
mengagungkan al-Qur’an merupakan bentuk pengagungan terhadap Dzat Yang
Berfirman (yakni Allah Ta’ala). Di samping Seorang Muslim juga menyadari
bahwa ia memiliki kewajiban terhadap al-Qur’an saat membaca dan
berinteraksi dengannya. Diantara kewajiban tersebut antara lain:
Pertama; Mewujudkan keikhlasan dan menghadirkan niat ketika berinteraksi dengan al-Qur’an.
Saat membaca, menghafal, mendengarkan atau mengamalkan Al-Qur’an,
seorang Muslim Wajib menghadirkan niat yang tulus dan ikhlas semata-mata
karena Allah. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّـهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا
الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ ﴿٥﴾
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan
yang demikian itulah agama yang lurus. “(QS. al-Bayyinah [98]: 5).
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan memperoleh balasan sesuai niatnya. “
Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas radliyallaahu ‘anhuma, bahwa
beliau bersabda, “Seseorang sanggup menghafal sesuai dengan kadar
niatnya.” Maksudnya, seseorang mendapatkan pahala dari yang dihafal,
tergantung dari niatnya yang baik. Inilah yang akan memberikan manfaat
baginya.
Para ulama menjelaskan bahwa orang yang membaca dan belajar Al
Qur’an, tidak boleh menjadikan ibadah tersebut sebagai jalan untuk
menggapai tujuan-tujuan duniawi. Baik wujudnya berupa harta, jabatan,
pangkat, kedudukan terhormat di tengah-tengah kerabatnya, pujian
orang-orang, menarik perhatian orang lain, dan sejenisnya.
Para salaf rahimahumullah sangat antusias untuk menjaga
kesucian niat mereka ketika melakukan ketaatan, terlebih lagi saat
berinteraksi dengan al-Qur’an. Mereka berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk tidak mengotori niat mereka dengan noda apapun, baik berupa sum’ah (ingin amalnya didengar orang lain, pent) ataupun riya. Salah satu contohnya adalah kisah tentang Imam Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah,
jika beliau berbicara atau membaca al-Qur’an dan hatinya tersentuh
hingga meneteskan air mata, maka beliau khawatir terjatuh ke dalam riya,
beliau mengusap wajahnya lalu berkata: “betapa berat demam ini.”
Ibrahim An-Nakha’i jika membaca mushaf, lalu ada orang yang masuk
menemuinya, beliau pun menyembunyikan mushafnya.
Mereka tidak mengenal perilaku yang dibuat-buat bahkan tidak
terlintas dalam benak mereka. Perbuatan baik sudah menjadi karakter
mereka. Beginilah, tabiat orang-orang yang ikhlas.
Faktor utama yang membantu mereka mewujudkan makna ikhlas dalam
interaksi mereka dengan Al Qur’an adalah keyakinan bahwa ketika mereka
membaca Al Qur’an, pada hakikatnya sedang berkomunikasi dan bermunajat
dengan Rabb (Tuhan)nya.
Kedua, Mengagungkan al-Qur’an
Mengagungkan firman Allah merupakaan ciri orang-orang saleh, baik
pada umat ini maupun umat-umat terdahulu. Pengaruhnya tercerminkan dalam
diri mereka. Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ آمِنُوا بِهِ أَوْ لَا تُؤْمِنُوا ۚ إِنَّ الَّذِينَ
أُوتُوا الْعِلْمَ مِن قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ
لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا ﴿١٠٧﴾
“Katakanlah: “Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman
(sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan
sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur
atas muka mereka sambil bersujud. “(QS. Al Israa’ [17]: 107).
Hal ini hanya terjadi pada orang yang Allah karuniai hati yang
terbuka terhadap berbagai makna yang Allah firmankan. sebagaimana
disebutkan dalam firman-Nya:
ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّـهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ ﴿٣٢﴾
“Demikianlah (perintah Allah). Dan siapa yang mengagungkan
syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. “(QS. Al Hajj [22]: 32)
Ini merupakan nikmat agung yang tidak diperoleh kecuali oleh orang
yang dipilih oleh Allah untuk mendapatkan hidayah-Nya. Sebagaimanaa
firman Allah:
أُولَـٰئِكَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّـهُ عَلَيْهِم مِّنَ
النَّبِيِّينَ مِن ذُرِّيَّةِ آدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِن
ذُرِّيَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَائِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا
وَاجْتَبَيْنَا ۚ إِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَـٰنِ
خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا ﴿٥٨﴾
“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh
Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang
Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari
orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila
dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka
menyungkur dengan bersujud dan menangis. “(QS. Maryam [19]: 58).
Sikap mengagungkan Al-Qur’an menuntut seseorang untuk memiliki adab terhadap al-Qur’an, antara lain:
Pertama; Mengagungkan al-Qur’an bermakna mengagungkan perintah dan
larangan yang terkandung di dalamnya dengan menjaganya dari distorsi
orang-orang berlebihan, pengrusakan orang-orang yang menyebarkan
kebatilan dan ta’wil orang-orang yang jahil.
Kedua, Menjaga adab saat membaca al-Qur’an. Hendaknya seseorang membaca
al-Qur’an dalam keadaan suci secara lahir dan batin. Membersihkan
mulut, badan, dan pakaiannya. Hendaknya tempat membaca al-Qur’an
benar-benar bersih dan suci. Sangat dianjurkan membaca dengan menghadap qiblat dengan khusyu’ dan tenang.
Ketiga, Mengagungkan para pengemban al-Qur’an. Diriwayatkan bahwa
Umar ibn al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Nafi’
ibn Abdul harits saat menemuinya di Usfan. Saat itu Umar menunjuknya
sebagai gubernur Mekkah. Umar bertanya kepadanya; “Siapa yang kamu
angkat menjadi pemimpin untuk penduduk Wadi?” Dia menjawab; “Aku angkat
untuk mereka Ibnu Abza. “Umar bertanya; “Siapa Ibnu Abza?” Dia menjawab;
“Dia adalah salah seorang dari hamba sahaya kami. “Umar berkata; “Kamu
angkat untuk mereka seorang budak?” Dia menjawab; “Sesungguhnya dia
seorang yang hafal Al Qur’an dan pandai dalam masalah fara`idh (warisan). “Maka Umar berkata; “Sesungguhnya Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wasallam
telah bersabda: ”Sesungguhnya Allah memuliakan suatu kaum dengan kitab
[al-Qur’an] ini dan menghinakan kaum yang lain in dengan al-Qur’an ini
pula. (HR. Muslim, 1/559. No. 817).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya termasuk sikap mengagungkan Allah adalah memuliakan orang
yang sudah beruban (orang tua) muslim, memuliakan ahli Qur’an dengan
tidak berlebihan dan tidak menyepelekannya, dan memuliakan penguasa yang
adil. “(HR. Abu Daud, 2/677. No. 4846. Dihasankan oleh Al Albani).
Bahkan Allah mengagungkan kitabnya dalam banyak ayat, diantaranya;
وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِّنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ ﴿٨٧﴾
Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al Quran yang agung. (QS. Al Hijr [15]: 87).
ص ۚ وَالْقُرْآنِ ذِي الذِّكْرِ ﴿١﴾
Shaad, demi Al Quran yang mempunyai keagungan. (QS. Shad [38]: 1)
ق ۚ وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ ﴿١﴾
Qaaf Demi Al Quran yang sangat mulia. (QS. Qaf [50]:1)
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ ﴿٧٧﴾ فِي كِتَابٍ مَّكْنُونٍ ﴿٧٨﴾ لَّا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ ﴿٧٩﴾ تَنزِيلٌ مِّن رَّبِّ الْعَالَمِينَ ﴿٨٠﴾
Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada
kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali
orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Rabbil ‘alamiin. (QS. Al Waqi’ah [56]: 77-80)
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَّجِيدٌ ﴿٢١﴾
Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia, (QS. Al-Buruj [85]: 21)
dan masih banyak lagi ayat-ayat yang mengharuskan sikap ta’zhim (pengagungan) terhadap Firman Rabbul ‘alamin.
Ketiga; Tadabbur dan Tafakkur Makna-Makna al-Qur’an
Siapa yang membaca dan menyimak tapi tidak mentadabburi, boleh jadi al-Qur’an akan menjadi hujjah atasnya. Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang yang seperti itu,
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا ﴿٢٤﴾
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad [47]: 24).
Hasan al-Basri rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang sebelum
kalian memandang al-Qur’an sebagai surat dari Tuhan mereka, oleh karena
itu mereka mentadaburinya pada malam hari dan mengamalkannya pada siang
hari”
Dari ‘Abdullah ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
“Seorang pengemban al-Qur’an hendaknya dikenali [dengan shalatnya] pada
waktu malamnya saat orang-orang sedang tidur, [dengan puasanya] pada
siang hari saat orang-orang sedang makan, dengan sedihnya saat
orang-orang bergembira ria, dengan tangisannya saat orang tertawa,
dengan diamnya saat orang-orang berbicara dan dengan khusyu’nya saat
orang-orang angkuh.
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Pengemban al-Qur’an
adalah pembawa panji Islam, tidak sepantasnya ia berbuat sia-sia bersama
orang yang berbuat sia-sia, tidak lalai bersama orang-orang yang lalai,
tidak berkata berbuat yang tidak bermanfaat seperti orang-orang yang
berkata dan berbuat yang tidak bermanfaat. Sikap ini sebagai bentuk
mengagungkan al-Qur’an.
Oleh karena itu, bersungguh-sungguhlah wahai Kaum Muslim dalam
menunaikan kewajiban-kewajiban penting terhadap al-Qur’an ini. Tentunya
dengan mengikhlaskan niat kepada Allah saat tilawah atau menyimaknya, mengagungkan dan menghormati al Qur’an dan para pengembannya, mentadabburi dan memikirkan makna-maknanya, serta bersungguh-sungguh dalam merealisasikan dan mengamalkannya.
Sumber : (Diterjemahkan dari artikel Syekh Nashir dengan judul Tsalats Wajibat al-Muslim Ma’a al-Qur’an, yang dipublikasikan oleh http://www. almoslim. net/node/1373 /Sym)
Tidak ada komentar: